Daya
tarik utama Kota Madinah adalah keberadaan Masjid Nabawi. Itulah sebabnya,
jutaan orang setiap tahunnya mengunjungi Kota Rasul ini. Masjid Nabawi
merupakan masjid yang dibangun oleh Muhammad saw. dan sekaligus tempat
pergerakan perjuangan menyebarkan Islam.
Magnet umat Islam adalah insentif
yang diberikan berupa pahala dan keutamaan bagi yang melaksanakan salat di
Mesjid Nabawi memiliki pahala 1.000 kali lebih utama dibanding dengan salat
di tempat lain, selain Masjidilharam.
Saat
Musim haji, sedikitnya 200.000 jemaah Indonesia mengunjungi Madinah khususnya
Mesjid Nabawi, ditambah lagi ratusan jutaan jemaah dari negara lain guna
melakukan salat arba`in (salat 40 waktu tanpa terputus). Belum lagi jutaan
orang yang silih berganti berdatangan ke Madinah ketika menunaikan umrah baik
dari Indonesia maupun dari negara lain. Hal ini menjadikan Madinah menjadi
kota yang tidak pernah mati selama 24 jam sepanjang tahun.
Kota yang terletak di sebelah utara
Mekkah dengan jarak tempuh sekitar 450 km ini pada masa Muhammad saw. menjadi
pusat dakwah, pengajaran dan pemerintahan Islam. Di Madinah pula diletakkan
foundasi perpolitikan modern oleh Rasulullah yang termaktub dalam Piagam
Madinah. Dari kota yang sebelumnya bernama Yatsrib ini Islam kemudian
menyebar ke seluruh jazirah Arab dan kemudian ke seluruh dunia.
Yatsrib sejak dulu merupakan pusat
perdagangan. Setelah Rasulullah menetap di kota ini, Yatsrib kemudian diberi
nama Madinah dan kemudian menjadi pusat perkembangan Islam. Perjuangan ini
dilanjutkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin
Affan (pada masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke
Kuffah Irak karena terjadinya pergolakan politik yang menyebabkan Utsman bin
Affan terbunuh).
Jejak perjuangan Rasul Muhammad menyebarkan
Islam di Madinah masih berbekas hingga kini. Tempat seperti Jabal Uhud,
Khondak, dan Mesjid Quba adalah tempat “wajib” untuk diziarahi ketika jemaah
berada di Madinah selain Mesjid Nabawi.
Peran sebagai pusat perdagangan sejak
dulu hingga kini masih terus berlangsung. Kedatangan jutaan orang ke Madinah
setiap tahunnya tentu membuat kota ini tidak berhenti terutama aspek
perdagangan makanan dan kebutuhan hidup, akomodasi dan transportasi bagi para
pengunjungnya. Apalagi di musim haji ini, jutaan jemaah keluar masuk Kota
Madinah baik lewat darat maupun udara tanpa mengenal waktu.
Bagi penduduk Madinah (orang)
Indonesia bukan asing lagi bagi mereka, para pedagang, petugas hotel, asykar
(petugas keamanan) atau yang lainnya terutama di sekitar Masjid Nabawi
rata-rata lebih mengenal Indonesia dibanding negara lain. Oleh karena itu,
jemaah tidak perlu khawatir saat berada di Madinah tidak bisa melakukan
aktivitas belanja, makan atau kegiatan lainnya karena kendala komunikasi bahasa.
Sapaan “Haji! Mari ke sini, barangnya
bagus, murah…” adalah hal biasa. Atau ada celetukan, “Kemahalan ya…? dari
pedagang ketika kita menanyakan harga barang kemudian tidak menawar barang
tersebut. Para pedagang Arab juga fasih melafalkan angka-angka rupiah untuk
saling tawar manawar.
Bahkan di saat “peak season” pada
musim haji, pedagang kaki lima di sekitar Masjid Nabawi tidak ubahnya PKL
(pedagang kaki lima) di pasar di Indonesia dalam menawarkanbarangnya. “Lima
real, lima real selusin murraaaah¦” demikian seorang pedagang berulang-ulang
menawarkan harga tasbih satu lusin kepada setiap orang yang lalu lalang.
Tidak hanya itu, bagi orang Indonesia
juga tidak kesulitan mencari barang-barang khas Indonesia, terutama makanan.
Berbagai macam kerupuk bisa dijumpai di toko “Nusantara” di kawasan Ijabah.
Atau ingin makan bakso, tersedia “Bakso Solo” dan “Warung Si Doel Anak
Madinah” di kawasan Markaziah.
Madinah menjadi kota damai karena
hampir tidak terdengar perselisihan antar penduduk Madinah, atau penduduk
Madinah dengan warga asing, juga warga asing dengan warga asing. Kalau ada
perselisihan di jalan mengenai lalu lintas misalnya, yang dilakukan pengemudi
hanyalah “main” klakson, tidak lebih dari itu. Kalau terjadi kecelakaan fatal
tentu ada hukum yang mengaturnya. Prinsipnya siapa yang memulai melakukan
kekerasan dia yang akan terkena hukuman lebih berat.
Pun tidak pernah ada paksaan untuk
memilih, atau membeli atau tidak terhadap sesuatu yang kadang menjadi sumber
perselisihan karena tidak ada preman yang sok berkuasa di daerah tertentu.
Tidak ada tukang parkir, Pak Ogah atau timer yang mengatur-atur kendaraan
kemudian meminta imbalan lebih seperti di Jakarta. Karena di Madinah memang
tidak ada pungutan parkir. Mobil pun diparkir di depan rumah, di pinggir
jalan atau di tanah lapang tanpa takut akan dicuri pencuri yang setiap saat
mengintai pemilik mobil yang lengah.
Kedamaian itu tercipta karena setiap
orang yang ada di Tanah Suci ini bersahabat.
Penduduk lokal tidak merasa
lebih baik dari warga asing yang datang ke Madinah. Tidak ada yang merasa
lebih hebat karena di negaranya adalah dia seorang pejabat. Hitam, kuning
maupun putih kulitnya, besar-kecil postur tubuhnya semua sama.
Apabila berjumpa, mereka mengucapkan
“Salamun alaik” yang diberi salam akan menyambutnya dengan penuh
persahabatan. Kemudian dilanjutkan dengan menyebut negara-masing-masing.
Setelah itu dilanjutkan obrolan yang sama-sama tidak paham karena menggunakan
bahasa mereka sendiri-sendiri. Umpamanya, setelah saya tegur sapa dengan menyebut
asal negara, seering kemudian saya bilang, “Asif, lam a`rif kalamuka” atau
“Sorry, Don`t Understand what you talking about,” tapi lawan bicara tetap
saja bicara. Jurus ampuh yang saya gunakan kemudian adalah bahasa Tarzan atau
kabur dengan mengucap “Ma`assalamah”.
|
Sabtu, 19 Mei 2012
MADINAH KOTA BERSEJARAH NAN DAMAI DAN BERSAHABAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar