Rabu, 09 Mei 2012

SEKILAS TENTANG TEROWONGAN MINA



 Mina adalah jalan lembah yang disinggahi oleh para jamaah haji untuk melempar jumrah. Dinamakan Mina lantaran darah yang dialirkan padanya. Allah SWT berfirman, “Setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),” (QS. Al-Qiyamah: 37).
Ada yang berpendapat karena Adam mengangankan surga di sana. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa batas Mina dimulai sejak pemberhentian Aqabah hingga ke Wadi Muhassir, Muzdalifah dimulai dari Wadi Muhassir hingga ke perbatasan Tanah Haram, dan posisi Arafah berada di luar Tanah Haram.
Orang-orang berhenti di Mina apabila mereka tiba di sana. Makna ini berasal dari Yunus. Ibnu Al-Arabi berkata, “Orang-orang datang ke Mina dan Allah menjadikan sesuatu yang diinginkan dan Dia menakdirkannya, dan hal itu dinamakan Mina.”
Ibnu Syumail mengatakan, disebut Mina karena domba jantan (kibas) disembelih di sana. Sementara Ibnu Uyainah mengatakan, Mina diambil dari kata manaya, yaitu sebuah daerah yang berjarak satu farsakh dari Makkah yang panjangnya dua mil.
Pada musim haji, daerah ini ramai dikunjungi jamaah dan sepi pada hari-hari selain musim haji, kecuali para penjaganya. Jarang sekali sebuah negeri yang disebut di dalam Islam melainkan warganya memiliki tenda di Mina. Di gerbang Mina, dari arah Makkah terdapat Aqabah, tempat melempar jumrah di hari penyembelihan kurban.
Mina adalah dua jalan di anatara bukit yang dihubungkan oleh beberapa lorong di antara keduanya. Masjid Mina terdapat di sebelah kanan jalan raya, sedangkan Masjid Al-Kabsy berada di dekat Aqabah.
Di Mina terdapat beberapa pabrik, sumur, kedai, dan toko-toko. Posisinya terletak di antara dua gunung yang mengapitnya. Dulu Abu Al-Hasan Al-Karkhi berdalih boleh melaksanakan shalat Jumat di sana karena Mina dan Makkah adalah seperti satu kota. Akan tetapi, tatkala Abu Bakar Al-Jashshash menunaikan ibadah haji dan melihat jauhnya jarak di antara keduanya, dia pun menganggap lemah alasan ini.
Dia mengatakan Mina adalah sebuah kota di antara kota-kota kaum Muslim yang ramai di suatu waktu dan kosong di waktu yang lain. Namun, kekosongannya tidak sampai menghilangkan statusnya sebagai sebuah kota, dan pada alasan inilah Al-Qadhi Abu Al-Hasan Al-Qazwini berpegang.
Al-Basysyari berkata, “Suatu hari Abu Al-Hasan bertanya kepadaku, ‘Berapakah jumlah orang yang mendiaminya di pertengahan tahun?’ ‘Antara 20-30 orang laki-laki. Di sana, terdapat sebuah tenda yang dijaga oleh perempuan.’ Lantas, dia berkomentar, ‘Abu Bakar benar dan betul apa yang menjadi alasannya.’
Ketika saya bertemu dengan Al-Faqih Abu Hamid Al-Baghawi di Nishapur, saya ceritakan hal itu kepadanya. Dia mengatakan bahwa alasannya adalah seperti yang diterangkan oleh Syekh Abu Al-Hasan. Tidakkah engkau perhatikan firman Allah SWT, ‘Kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul ‘Atiq (Baitullah).’ Dan firman-Nya, ‘Sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah.’ Bukankah penyembelihan kurban hanya terjadi di Mina?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar